Uncategorized

the End of the Worst Broken Heart

Kata @petitepoppies, we are what remained after numerous broken hearts. And, here I am, after my recent (and the worst) broken heart.

Hati saya yang perih mulai membaik sejak saya mendengarkan curhatan Bapak A, salah seorang Jemaah Rosalia Indah yang weekend lalu duduk di sebelah saya pas perjalanan mudik ke Purwokerto. Curhat sepanjang Ngawi – Masaran tersebut menyadarkan saya bahwa apa yang menimpa saya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Bapak A hadapi. Malu, lah, kalau patah hati saya ra uwis-uwis, ketika ada teman yang baru saja merayakan kelahiran anak pertamanya di usia akhir 40-an, harus tinggal terpisah dari anak dan istrinya plus divonis menderita tumor otak.

Yang membuat hati saya megar lagi, Bapak A mengatakan pada saya bahwa dia sudah ikhlas dengan kondisinya, enjoy saja, katanya. Yang penting jangan menyerah pada keadaan, tertib menjalani pengobatan sambil terus menata hati, lanjutnya. If he can do it, so do I!

Dengan demikian, selesailah babak patah hati saya kali ini.

Terus, hari minggunya ada jalan sehat di kampus. Senang, bisa ketemu dengan teman-teman, walaupun tidak sempat ngobrol apa-apa. Kami masing-masing terlalu sibuk angon bocah-bocah yang beneran lancip bokongnya, yang tidak mau duduk tenang lebih dari 10 menit.

are we ready for another baby girl? hihihi!

 

Foto-foto2

Btw, Argo itu bagus, ya. Banget. Love it, much. Great job, Ben!

Dan sekarang, saya sudah pengen banget pulang. Menyambut long weekend bersama Sophie dan suami.

Uncategorized

tentang Princess-Princessan

Sebagai emak-emak yang dulunya tumbuh tanpa kenal princess-princessan, saya tentu saja tidak mengenalkan sosok-sosok cantik itu pada Sophie. Lah, bagaimana bisa mengenalkan kalo saya saja tidak tahu, coba? Ditambah lagi dulu saya sempat membaca bahwa cerita princess-princessan macam itu bisa berbahaya bagi konsep diri anak (perempuan) bila orang dewasa di sekitarnya tidak menyampaikannya dengan pas. Itu, lho, tentang stereotip princess yang tidak mandiri dan lemah, yang harus bergantung pada prince agar bisa hidup bahagia, juga tentang ukuran kebahagiaan yang berupa pasangan ganteng dan status sosial yang tinggi. Semakin ogah, dong, saya jadinya.

Ketika Sophie mulai menyukai segala jenis hewan, saya tanpa berpikir mengenalkannya pada Maximus, kuda putih dalam Tangled. Sophie, tentu saja, langsung jatuh cinta pada Maximus. Namun, itu tidak bertahan lama. Preferensi Sophie dengan cepat bergeser pada Rapunzel. Sejak saat itu Sophie bercita-cita punya rambut panjang seperti Rapunzel (yang mana ini membuatnya suka dan gampang dikeramasi, hahaha!), juga menamakan semua baju panjang berwarna ungu sebagai baju-kayak-Rapunzel. Bahkan, saat bermain peran Sophie seringkali memainkan Rapunzel, dengan suami sebagai Eugene dan saya sebagai Maximus.Hahaha!

Image
Baju batik Rapunzel!

Dengan berjalannya waktu, Sophie tahu bahwa ada sosok-sosok lain yang penampilannya senada dengan Rapunzel. Sophie menamakan mereka Mbak-mbak-yang-bajunya-kayak-Rapunzel. Tidak cantik babar blas, ya, jadinya nama mereka. Nama ini bertahan agak lama, sampai akhirnya Sophie tahu bahwa nama golongan gadis (yang sebagian besar) berambut panjang, berbaju megar dan tampil penuh senyum itu adalah princess. Tampaknya ini adalah hasil dari pergaulannya di sekolah. Masalah mulai muncul saat Sophie mulai menanyakan nama-nama princess tersebut. Saya, ya, jawabnya tidak tahu melulu. Begitu pun dengan suami. Demi bisa menjawab pertanyaan Sophie, saya minta bantuan google dan wikipedia untuk tahu tentang princess-princess dari Disney. Ya, setidaknya tahu ini princess siapa di cerita apa bagaimana nasibnya, lah. Tapi, sampai sekarang saya masih sering tertukar-tukar. Yang hapal di luar kepala, ya, Rapunzel, Jasmine, Mulan dan Pocahontas thok. Eh, yang rambutnya kuning itu Aurora atau Belle, sih? Kan? Hahaha!

Image
contekan saya, gambar dari sini

 

Belakangan Sophie mengatakan kalau dia paling suka Rapunzel dan Ariel, tapi tidak suka dengan Pocahontas. Alasan Sophie, Pocahontas tidak memakai baju, hahaha!

Karena Sophie suka Ariel, saya kemudian mencari The Little Mermaid. Saya berniat untuk mengenalkannya pada film klasik tersebut. Tapi saya berubah pikiran setelah saya menontonnya. The Little Mermaid masih terlalu menegangkan untuk ukuran Sophie. Lah, Sophie itu kalau menonton Tangled suka takut dan heboh minta dipeluk ketika Mother Gothel muncul. Yo wis, nanti saja kalau dirimu sudah gedhean kita tonton bareng, ya, Soph. Saya, sih, suka The Little Mermaid, dan yakin Sophie juga akan menyukainya. Tapi semua kan ada waktunya tersendiri, ya.

Uncategorized

Bercelana Lagi, Akhirnya!

Foto-foto ini selalu membuat senyum saya mengembang sejak minggu lalu. Setelah hampir setahun hanya mau memakai rok, dress atau daster, akhirnya Sophie mau memakai celana juga!

Semua ini berawal dari informasi sekolah agar kami menyiapkan manset, kaos kaki dan ciput putih, plus legging hitam yang akan digunakan sebagai kostum dalam lomba menari.  Iya, Sophie rencananya akan diikutkan lomba menyanyi dan menari jingle susu Bend*ra, bersama teman-teman sekolahnya. Suami  dengan nada panik menelpon saya, karena waktu mencarinya mepet dan TIDAK TAHU  manset dan ciput itu bentuknya seperti apa, hahaha!

Karena belakangan ini kondisi saya sedang tidak support untuk kemana-mana (ke ITC, sih, lebih tepatnya), akhirnya saya hanya bisa mencari barang-barang tersebutdi Pasar Karmen pagi-pagi sebelum berangkat ke lab. Dapat manset dan kaos kaki saja. Nah, sisanya adalah urusan suami. Saya hanya menyampaikan tempat-tempat dimana suami mungkin bisa menemukannya di Purwokerto. Leggingnya dapat, ciputnya pinjam dari sekolah saja. Iya, suami blusukan ke toko pakaian anak, mendapatkan legging dengan ukuran yang pas, juga membelikan Sophie baju pink, sendirian.

I love you, suami *kecup*

Setelah dapat barangnya, membujuk Sophie untuk mau memakai legging adalah tantangan selanjutnya. Lah, bagaimana memakainya kalau baru melihat bentuknya saja Sophie sudah menolak mentah-mentah, coba.

“Yuk, Soph, legging barunya dicoba dulu”

“Emoh”

“Nanti Sophie menari memakai legging ini, ya”

“Tidak mau”

“Nanti teman-teman juga memakai legging, kok”

“Emoh”

“Pakainya bareng-bareng, lho”

“Tidak”

Yaa, dalam sehari percakapan semacam itu terjadi berkali-kali. Sophie akhirnya mau memakai legging ketika suami menyampaikan bahwa leggingnya nanti untuk dalaman. Di luar legging masih memakai rok lagi. Rok yang BAGUS dan CANTIK. Hahaha! Mau memakai, tapi maunya legging yang pink, tidak mau warna hitam. Rayu-merayu babak selanjutnya pun kami mainkan. Hasilnya, Sophie mau mencoba memakai legging hitam, dengan atasan kaos pink. Tetep, ya, Soph.

Image
ter-Ceribel 2013

Setelah sukses mau mencoba legging sebelum tidur, besok paginya Sophie ke sekolah minta pakai legging lagi. Yang pink, tentu saja. Konsisten pink!

Terus, weekend lalu lagi-lagi Sophie memilih legging untuk dipakainya. Awalnya dia mau memakai kaos putih dan rok merah yang menurut standar suami terlalu pendek untuk dipakai keluar rumah (Iya, suami dan Sophie punya kesepakatan tentang baju yang dipakai Sophie sehari-hari. Sekolah dan jalan-jalan tidak boleh pakai rok kecil dan keliatan keteknya. Di rumah boleh pakai rok kecil dan kelihatan keteknya). Suami bilang rok merahnya boleh dipakai asal memakai legging. Ya, pikir kami, tinggal dipakaikan legging putih, kan, beres.  Tapi, Sophie malah memilih legging biru. Dan sepatu warna kuning neon. Iya, bener kok bacanya. Putih, merah, biru dan kuning sekaligus. Tabrak lari pol.

Foto-foto5

Saya awalnya mengira jurus tabrak lari ala Sophie ini bakal menyakitkan mata. Ternyata, setelah dipakai semua bagus, kok, jatuhnya. *rabid Mama alert!* It is color blocking, Sophie.

Saya dan suami memang tidak pernah melarang pilihan Sophie dalam berpakaian. Kami membiasakannya untuk mengambil sendiri baju yang ingin dipakainya. Lah, untuk apa dilarang-larang, tidak merugikan siapapun, kok. Tidak serasi? Anak-anak itu memakai baju apa saja, kan, terlihat bagus. Daripada melarang, kami lebih suka mengontrol baju apa saja yang bisa dipilihnya. Kalau ada baju yang tidak sreg bagi kami, kami tinggal menyingkirkannya dari lemari baju Sophie, sehingga dia tidak bisa memilihnya. Sesederhana itu.

Eh, apa kabar lomba menarinya? Batal ikut, saudara-saudara. Sophie mogok latihan sejah H-3. Dia sama sekali tidak mau berlatih. Ketika teman-temannya menari, dia duduk manis mengamati mereka.

Memang, malam harinya Sophie bercerita ke suami kalau dia tadi di sekolah dia tidak mau menari.

“Aku tadi tidak menali”

“Kenapa, Soph?”

“Aku menangis kalena keltasnya dicali-cali tidak ketemu”

Kertas ini maksudnya adalah kapal-kapalan buatan suami yang dibawa Sophie dari rumah.

“Terus?”

“Aku menangis dipeluk Bu Lasti”

Dan, Sophie mogok setelahnya, hahaha!

Kalau ditanya Ibu Guru kenapa dia tidak mau menari, Sophie menjawab kalau dia tidak mau susu bend*ra dari Ibu Guru, karena sudah dibelikan Papa susu bender*nya. (Karena yang menyelenggarakan lomba susu Bend*ra, maka anak-anak juga memakai atribut yang berbau-bau susu Bende*ra. Sophie tidak minum susu Bend*ra, maka suami membeli susu tersebut untuk diambil kotaknya). Nah, daripada di hari H Sophie tetap mogok dan mungkin mempengaruhi teman-temannya, maka diputuskan Sophie tidak jadi ikut lomba.

H-1, ketika berangkat ke sekolah, Sophie bilang ke suami kalau dia tidak mau menari. Ya sudah, tidak apa-apa. Karena itu keinginannya sendiri, Sophie juga santai saja tidak ikut berlomba. Lah, bagaimana tidak santai, wong dia itu belum pahan apa itu kompetisi, hahaha!

Lain waktu, ya, Nduk, semoga dirimu sudah bisa memahami apa itu berkompetisi dan menikmati keseruannya.

Oh, kangen Sophie dan suami jadi banget-banget gara-gara nulis ini kan. Hiks.

Uncategorized

Kenapa Harus Berdoa?

Kemarin malam menjelang tidur, Sophie melemparkan pertanyaan yang membuat mata saya dan suami yang sudah kriyip-kriyip melek lagi.

“Kenapa, sih, aku beldoa sebelum tidul?”

Supaya tidurnya tenang, nyenyak, jawab saya.

Karena Sophie anak sholehah, jawab suami.

Tampaknya jawaban kami berdua belum menjawab pertanyaan Sophie. Dia mengulangi pertanyaannya sesaat setelah kami menjawabnya. Dan jawaban yang apropriate masih pending sampai sekarang.

Jadi, kami harus jawab apa, dong, yang bisa dipahami oleh anak 3 tahun 5 bulan?

Uncategorized

Dulu dan Sekarang

Dulu Sophie sering ketiduran di mobil ketika pulang sekolah. Buntutnya panjang lah kalau hal ini kejadian. Sophie mbablas tidur sampai pagi –> skip makan malam –> kompensasi lapar dengan minum susu (banyak!) –> bangun sebelum subuh –> suami ngantuk di kampus. Repot lah.

Usut diusut, ternyata Sophie tidur di mobil karena takut dengan Pak Hilmi, driver mobil jemputan sekolahnya. Begini, nih, penjelasan ala Sophie,

“Aku takut sama Pak Hilmi, telus aku ngumpet di ketek Bu Yani, telus aku ketidulan, deh”

Padahal, ya, ngumpet di ketek Bu Yani itu artinya Sophie senderan minta dipeluk, yang mana adalah pewe buat tidur, kan, ya. Alasan, ih.

Sekarang, Sophie lebih jarang ketiduran pas pulang sekolah. Salah satu penyebabnya adalah ada adik Munif yang masih bayi, yang dipangku oleh Bu Yani, atau guru yang lain yang mengantar. Selain itu, sekarang driver mobil jemputannya asyik. Kata Sophie namanya Pak Panggi.

“Mama sudah kenal Pak Panggi, belum?”

“Belum, Soph, kan Mama belum pernah ketemu. Nanti Mama dikenalkan ya”

“Iya”

“Mengenalkannya begini, ya,- Pak Panggi, ini Mama aku-, begitu?”

“Bukan, tapi begini, Ma, -Pak Panggi, ini Mama Sophie”

Halah, padahal kan sama artinya, Nduk, hahaha!

“Sophie suka diantar Pak Panggi?”

“Iya, habis Pak Panggi suka ketawa-tawa sih”

PS: There’s nothing wrong with Pak Hilmi. Sophie memang kadang suka takut pada sesuatu atau seseorang tanpa ada alasan yang masuk akal. Dia pernah takut pada Bernard karena matanya, takut pada Beri karena udelnya, juga sok drama minta dipeluk sama suami ketika nonton Dora the Explorer setiap kali Swiper muncul.